Sebagai generasi yang pernah mengalami Indonesia
yang relatif sekuler, semakin hari saya semakin sedih melihat kondisi Indonesia yang kian religius dan cenderung
fanatik.
Di tempat kerja, satu persatu kolega dan staf baru mengenakan
hijab dan pergi umroh berulang kali, les
mengaji di kala istirahat makan siang, sedangkan para pria sembahyang dan mendengarkan khotbah
yang lumayan radikal setiap hari di masjid kantor, memelihara jenggot…sehingga
kantor tak ubahnya sebuah pesantren.
Tidak berbeda dengan teman-teman lama, penampilan dan kata-kata yang
mereka tulis di media sosial semakin hari semakin religius dan fanatik.
Di jalan-jalan, gadis-gadis muda bahkan balita
telah menutup rambut dan seluruh tubuhnya
dengan kerudung lebar yang melambai-lambai serta baju longgar tak
berbentuk.
Hal yang lebih mengenaskan ialah melihat siswa
sekolah beramai-ramai sholat istighasah agar bisa lulus ujian nasional. Begitu sulit dan seramkah melalui ujian
nasional, sehingga tidak seorangpun memiliki kepercayaan diri untuk bisa lulus?
Memangnya kalau tidak belajar doa bisa membuat seseorang lulus?
Saya teringat bahwa seumur hidup saya tidak pernah
berdoa untuk bisa lulus ujian atau tes
apapun, karena saya percaya, kalau tidak belajar atau tidak menguasai
pelajaran, sudah pasti tidak akan bisa lulus ujian sekalipun berdoa semalaman.
Tetapi kalau telah belajar dan menguasai pelajaran tersebut, tanpa doa pun
pasti akan lulus. Mengapa kini para pelajar tersebut demikian tidak percaya
diri dan begitu menggantungkan hasil
ujian – yang sebenarnya berasal dari
upaya diri sendiri – pada doa? Apa yang
salah dengan pendidikan anak-anak Indonesia sekarang sehingga mereka tidak lagi
percaya pada kemampuan berpikir mereka sendiri, sehingga mau ujian saja harus
berdoa ramai-ramai?
Keadaan anak-anak Indonesia menggambarkan
masyarakatnya, yang telah tergiring ke arah konservatisme beragama. Banyak
orang tua, termasuk pemerintah, lebih mengutamakan pendidikan agama dari pada
kemampuan intelektual. Mereka mengutamakan sekolah yang berbasis agama, yang
menekankan pentingnya berhijab, sembahyang lima waktu, menghafal kitab suci
tanpa membaca isinya dengan kritis, mencampuradukkan sains dengan kitab suci,
antara lain bahwa kitab suci telah mengandung semua pengetahuan modern, atau
bahwa semua penemuan dari ilmu pengetahuan modern telah dimuat dalam kitab tersebut lebih dari seribu tahun yang lalu,
dan menyamakan moralitas dengan ketaatan mutlak pada ajaran agama.
Kecenderungan untuk mengutamakan agama antara lain
tercermin dari hasil test sedunia, yaitu pelajar Indonesia menempati ranking 10
terbawah dalam matematika dan sains. Sementara itu ranking teratas diduduki oleh negara-negara
Asia, yang kita ketahui sebagai negara sekuler.
Sekolah anak saya tidak mengizinkan pelajaran agama untuk anak-anak
di bawah sekolah dasar, karena anak-anak belum waktunya mengenal hal-hal yang
absurd. Pelajaran agama adalah sesuatu yang berlawanan dengan logika. Itu
sebabnya orang dewasa merasa perlu untuk mengajarkannya sedini mungkin dengan
keras, karena seseorang yang telah dapat berpikir dengan rasional atau berpikiran
bebas akan sulit menerimanya. Itu pula sebabnya semakin cerdas dan luas
pengetahuan seseorang maka semakin tinggi daya kritisnya, yang akan
mendorongnya mempertanyakan segala ajaran agama yang tidak sesuai dengan fakta
empiris maupun nilai-nilai moral modern, sehingga ia akan menjadi penganut
agama yang liberal, atau bahkan melepaskan agama formal, namun lebih bermoral.
Kondisi lingkungan Indonesia yang bersifat komunal
membuat setiap orang takut berbeda dan selalu ingin serupa dengan orang lain.
Mereka takut dianggap tidak beriman, karena beriman sama dengan bermoral. Jika
semua orang di sekeliling mengenakan hijab, maka ia merasa tidak percaya diri
jika tidak mengenakannya juga. Mereka
suka mendengarkan khotbah beramai-ramai daripada mencari informasi sendiri
dengan membaca buku yang memberi informasi berbeda dari yang telah dikenalnya.
Mereka suka berlibur di tempat-tempat ramai dan takut ke tempat-tempat baru
yang kurang dikenal atau terpencil. Mereka mengeluh dan mengancam akan berhenti
jika ditugaskan di kota-kota kecil.
Sangat sedikit teman saya yang berani berbeda. Nyaris
tidak ada yang membaca buku-buku yang saya baca, sedikit yang berani
mempertahankan gaya berpakaian tanpa hijab, lebih sedikit lagi yang berani
pergi lebih ke timur dari pulau Bali, dan tidak ada yang memiliki kebebasan
berpikir. Orang Indonesia sangat takut berbeda dari lingkungannya, baik dari
sisi penampilan maupun pemikiran. Dan hal itu kian dipicu dengan adanya
konservatisme agama, yang tidak mentolerir adanya pertanyaan, keraguan, atau
perdebatan atas doktrin-doktrinnya yang dianggap telah sempurna, berlaku
sepanjang zaman, dan berasal dari Tuhan,
sehingga sama sekali tidak dapat dikritik atau ditafsirkan.
Apa yang akan terjadi pada bangsa yang terlalu
religius, yang percaya bahwa semua bisa diatasi hanya dengan doa, yang tidak
percaya bahwa ilmu pengetahuan, efisiensi, kreativitas hanya bisa muncul dari
bangsa yang memberikan kebebasan berpikir, menghargai individualisme, dan memisahkan sains dari
agama? Lihatlah negara-negara
Timur Tengah dan sejenisnya!