Wednesday, March 23, 2011

RASIONALITAS DAN SAINS DI SEKITAR KITA


Beberapa tahun lalu, harian Kompas membuat daftar film-film Indonesia terburuk sepanjang tahun 2006. Salah satu diantaranya mendapat komentar kira-kira begini,”Film yang dibuat oleh orang yang tidak tahu mau berbuat apa dengan kecanggihan teknologi masa kini sementara jiwanya masih diliputi takhayul.” Menggelikan sekaligus menyedihkan. Sebenarnya tidak hanya sutradara atau penulis film tersebut yang tidak tahu harus berbuat apa dengan kemajuan teknologi masa kini. Sebagian besar bangsa ini mungkin demikian. Lihatlah acara saluran-saluran televisi di negeri ini. Televisi, yang bagi rakyat kebanyakan merupakan satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan yang terjangkau karena tidak harus dibeli, hanya berisi takhyul, mimpi, komedi dan gosip. Teknologi tidak dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan, melainkan hanya untuk memberikan hiburan dangkal dan informasi tentang kejahatan serta politik.

Beberapa bulan yang lalu, saya terkesan dengan ketidaktahuan salah seorang rekan kerja dan beberapa peserta akan alam semesta. Sehabis mendengarkan penjelasan di sebuah trainng yang memberikan gambaran akan luasnya alam semesta dan kedudukan bumi di dalamnya, mereka baru sadar, betapa kecil, rapuh dan tidak berartinya bumi di alam semesta. Mengherankan, bahwa sampai setua itu mereka tidak mengetahuinya. Jika mereka yang berpendidikan tinggi saja seperti itu, bagaimana dengan rakyat kebanyakan? Bagaimana mengharapkan mereka untuk mengendalikan kelahiran, menjaga kelestarian lingkungan, jika mereka tidak tahu apa-apa tentang sains yang paling dasar sekalipun? Bagaimana negeri ini tidak akan rusak? Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Carl Sagan, ilmuwan AS, menulis buku dan membuat serial televisi berjudul “Cosmos” agar rakyat Amerika mengenal alam semesta dan sains. Tujuannya hanya satu : menggugah kesadaran masyarakat, bahwa kita tidak hanya bisa menyerahkan diri pada nasib, atau doa-doa, tetapi harus berbuat sesuatu jika ingin tetap survive di bumi ini, dan jalan yang paling dewasa adalah dengan lebih menghargai sains, karena hanya itu satu-satunya yang dapat kita andalkan selama ini. Penonton setia televisi akan hafal, betapa seringnya film-film Hollywood diputar di televisi berkali-berkali untuk judul yang sama dalam jarak berdekatan. Tapi pernahkah mereka menonton bahkan sekedar mendengar film sejenis Cosmos diputar di televisi? Pernahkah mereka menonton salah satu ilmuwan, baik dalam atau luar negeri yang memberikan penjelasan tentang sains dasar, satu kali saja? Mungkin tidak pernah, karena memang tidak ada acara semacam itu, yang ada adalah penjelasan dari para ulama/pendeta atau dokter.

Tidak ada yang salah dengan penjelasan dari agamawan. Namun tanpa keseimbangan, rakyat tidak akan menyadari bahaya yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka tidak mengerti, dan tiba-tiba terkena bencana. Padahal jika mereka diberikan informasi terus-menerus secara memadai, mungkin bencana dapat dikurangi atau dihindari. Hari-hari ini para ilmuwan sibuk memperingatkan akan bahaya pemanasan global. Beberapa minggu yang lalu organisasi lingkungan hidup sedunia memperingati hari air, dan Indonesia diusulkan menjadi pemegang rekor sebagai penghancur hutan tercepat di dunia. Tapi berapa persen masyarakat disini yang sungguh-sungguh memikirkan hal ini? Bahkan di Amerika, kaum fundamentalis Kristen (termasuk Presiden Bush) tidak begitu peduli, karena percaya bahwa Tuhan akan selalu menjaga bumi untuk manusia.

Banyak yang tidak percaya bahwa kita harus bersikap rasional, dan masih memegang ajaran lama yang hanya cocok untuk ribuan tahun lalu. Bayangkan jika ajaran untuk beranak pinak sebanyak-banyaknya memenuhi bumi (karena Tuhan akan memberi rezeki kepada masing-masing) masih diterapkan di zaman sekarang dimana bumi telah penuh sesak dan sumberdaya semakin terbatas. Bukankah hal itu justru akan menimbulkan bencana, karena akan semakin banyak hutan dihancurkan untuk tempat tinggal atau pertanian? Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” memberi contoh beberapa masyarakat yang hancur karena pesatnya pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan kerusakan lingkungan karena daya dukung alam tidak lagi mencukupi. Indonesia memenuhi persyaratan untuk collapse (gagal). Namun semua masih bersikap tenang, berpikir bahwa doa yang banyak akan bisa mengatasi semua permasalahan. Sains? Rasio? Apakah itu?


Pergilah ke toko buku. Cobalah kalau bisa temukan satu buku tentang sains, tentang cara berpikir rasional, skeptis, kritis (seperti yang dipersyaratkan sains) untuk masyarakat awam (bukan anak-anak). Hampir bisa dipastikan, sulit sekali menemukannya, itupun kalau ada. Sebagai bangsa konsumen, kita hanya suka yang mudah-mudah. Kita selalu hanya mengambil kulit luarnya, misalnya mengikuti trend mode pakaian baru atau teknologi dan gadget terbaru. Tapi alam pikiran kita masih belum berubah. Masih percaya takhyul, malas membaca, kurang memiliki rasa ingin tahu, takut berpikir kritis dan rasional, dan sejenisnya. Jadinya ya seperti di awal tadi... teknologi digunakan untuk membuat film takhyul yang tidak bermutu atau menyebarkan ideologi yang membawa kemunduran. Menyukai teknologi, tapi curiga dan membenci mereka yang berpikir rasional, skeptis dan kritis. Maka jadilah bangsa konsumen, pemarah dan mudah tersinggung....