Monday, May 18, 2015

Anak-anak Indonesia




Sebagai generasi yang pernah mengalami Indonesia yang relatif sekuler, semakin hari saya semakin sedih melihat kondisi  Indonesia yang kian religius dan cenderung fanatik. 
Di tempat kerja, satu persatu kolega dan staf baru mengenakan hijab dan pergi umroh berulang kali,  les mengaji di kala istirahat makan siang, sedangkan  para pria sembahyang dan mendengarkan khotbah yang lumayan radikal setiap hari di masjid kantor, memelihara jenggot…sehingga kantor tak ubahnya sebuah pesantren.  Tidak berbeda dengan teman-teman lama, penampilan dan kata-kata yang mereka tulis di media sosial semakin hari semakin religius dan fanatik. 
Di jalan-jalan, gadis-gadis muda bahkan balita telah menutup rambut dan seluruh tubuhnya  dengan kerudung lebar yang melambai-lambai serta baju longgar tak berbentuk.
Hal yang lebih mengenaskan ialah melihat siswa sekolah beramai-ramai sholat istighasah agar bisa lulus ujian nasional.  Begitu sulit dan seramkah melalui ujian nasional, sehingga tidak seorangpun memiliki kepercayaan diri untuk bisa lulus? Memangnya kalau tidak belajar doa bisa membuat seseorang lulus?

Saya teringat bahwa seumur hidup saya tidak pernah berdoa untuk  bisa lulus ujian atau tes apapun, karena saya percaya, kalau tidak belajar atau tidak menguasai pelajaran, sudah pasti tidak akan bisa lulus ujian sekalipun berdoa semalaman. Tetapi kalau telah belajar dan menguasai pelajaran tersebut, tanpa doa pun pasti akan lulus. Mengapa kini para pelajar tersebut demikian tidak percaya diri dan begitu menggantungkan  hasil ujian – yang sebenarnya  berasal dari upaya diri sendiri – pada doa?  Apa yang salah dengan pendidikan anak-anak Indonesia sekarang sehingga mereka tidak lagi percaya pada kemampuan berpikir mereka sendiri, sehingga mau ujian saja harus berdoa ramai-ramai?

Keadaan anak-anak Indonesia menggambarkan masyarakatnya, yang telah tergiring ke arah konservatisme beragama. Banyak orang tua, termasuk pemerintah, lebih mengutamakan pendidikan agama dari pada kemampuan intelektual. Mereka mengutamakan sekolah yang berbasis agama, yang menekankan pentingnya berhijab, sembahyang lima waktu, menghafal kitab suci tanpa membaca isinya dengan kritis, mencampuradukkan sains dengan kitab suci, antara lain bahwa kitab suci telah mengandung semua pengetahuan modern, atau bahwa semua penemuan dari ilmu pengetahuan modern telah dimuat dalam kitab  tersebut lebih dari seribu tahun yang lalu, dan menyamakan moralitas dengan ketaatan mutlak pada ajaran agama.

Kecenderungan untuk mengutamakan agama antara lain tercermin dari hasil test sedunia, yaitu pelajar Indonesia menempati ranking 10 terbawah dalam matematika dan sains. Sementara itu ranking teratas diduduki oleh negara-negara Asia, yang kita ketahui sebagai negara sekuler. 

Sekolah anak saya tidak  mengizinkan pelajaran agama untuk anak-anak di bawah sekolah dasar, karena anak-anak belum waktunya mengenal hal-hal yang absurd. Pelajaran agama adalah sesuatu yang berlawanan dengan logika. Itu sebabnya orang dewasa merasa perlu untuk mengajarkannya sedini mungkin dengan keras, karena seseorang yang telah dapat berpikir dengan rasional atau berpikiran bebas akan sulit menerimanya. Itu pula sebabnya semakin cerdas dan luas pengetahuan seseorang maka semakin tinggi daya kritisnya, yang akan mendorongnya mempertanyakan segala ajaran agama yang tidak sesuai dengan fakta empiris maupun nilai-nilai moral modern, sehingga ia akan menjadi penganut agama yang liberal, atau bahkan melepaskan agama formal, namun lebih bermoral.

Kondisi lingkungan Indonesia yang bersifat komunal membuat setiap orang takut berbeda dan selalu ingin serupa dengan orang lain. Mereka takut dianggap tidak beriman, karena beriman sama dengan bermoral. Jika semua orang di sekeliling mengenakan hijab, maka ia merasa tidak percaya diri jika tidak mengenakannya juga.  Mereka suka mendengarkan khotbah beramai-ramai daripada mencari informasi sendiri dengan membaca buku yang memberi informasi berbeda dari yang telah dikenalnya. Mereka suka berlibur di tempat-tempat ramai dan takut ke tempat-tempat baru yang kurang dikenal atau terpencil. Mereka mengeluh dan mengancam akan berhenti jika ditugaskan di kota-kota kecil.

Sangat sedikit teman saya yang berani berbeda. Nyaris tidak ada yang membaca buku-buku yang saya baca, sedikit yang berani mempertahankan gaya berpakaian tanpa hijab, lebih sedikit lagi yang berani pergi lebih ke timur dari pulau Bali, dan tidak ada yang memiliki kebebasan berpikir. Orang Indonesia sangat takut berbeda dari lingkungannya, baik dari sisi penampilan maupun pemikiran. Dan hal itu kian dipicu dengan adanya konservatisme agama, yang tidak mentolerir adanya pertanyaan, keraguan, atau perdebatan atas doktrin-doktrinnya yang dianggap telah sempurna, berlaku sepanjang zaman,  dan berasal dari Tuhan, sehingga sama sekali tidak dapat dikritik atau ditafsirkan.

Apa yang akan terjadi pada bangsa yang terlalu religius, yang percaya bahwa semua bisa diatasi hanya dengan doa, yang tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan, efisiensi, kreativitas hanya bisa muncul dari bangsa yang memberikan kebebasan berpikir, menghargai  individualisme, dan memisahkan sains dari agama?  Lihatlah negara-negara Timur Tengah dan sejenisnya!