Monday, October 19, 2009

Suatu hari di Gramedia


Generasi 80-an tentu semua akrab dengan Gramedia. Ketika internet belum lazim, stasiun televisi hanya satu-satunya, informasi sangat terbatas karena sensor yang ketat, jumlah penerbit yang aktif dapat dihitung dengan jari, dan toko buku asing cenderung hanya menjual buku teks, maka Gramedia – dan Gunung Agung – adalah dua toko buku yang menjadi harapan terbesar mendapatkan buku-buku yang baik.
Ketika Balai Pustaka dan Pustaka Jaya mulai meredup, penerbit Gramedia memperkenalkan cerita-cerita klasik dengan komik Album Cerita Ternama, buku seri Elang, seri Kancil dan seri Cerita dari Lima Benua, novel pop terjemahan, dan pengantar filsafat yang ditulis beberapa budayawan dan pastur. Bisa dikatakan, Gramedia menemani generasi 80-an tumbuh dewasa, dengan memberikan bacaan yang cukup baik di tengah situasi yang terbatas pada saat itu.
Kini, generasi berikutnya masih didampingi oleh Gramedia, yang kini menjadi toko buku dan penerbit terbesar dengan jaringan toko di seluruh Indonesia, bahkan konon memiliki toko buku terbesar di Asean. Gramedia juga memiliki semboyan baru, yang tertulis pada tas plastik birunya yang elegan Enlightening and enriching the mind.., dan A place for smart people. Setiap akhir pekan, hampir seluruh tokonya seperti pasar yang dibanjiri keluarga dan pembeli, meninggalkan para pesaingnya dalam kesepian karena sedikitnnya pengunjung.
Pertanyaannya, di luar kemegahan toko-tokonya di seluruh Indonesia, benarkah ia telah membawa peran “enlightening and enriching the mind” ?

Buku apakah yang dijual Gramedia?
Pencerahan ialah bila seseorang dapat memperoleh pandangan dan pemikiran baru yang mempertanyakan kembali segala sesuatu yang dianggap telah mapan, pengetahuan yang mengarahkan kepada pencarian kebenaran, rasionalisme dan sikap kritis.
Dapatkah buku sejenis ini kita temukan disana?
Untuk itu saya mengunjungi salah satu tokonya yang cukup besar yaitu di Grand Indonesia yang terdiri dari dua lantai. Lantai pertama untuk buku lokal, dan lantai kedua untuk buku impor. Bagian ini didominasi oleh buku manajemen, bisnis dan komputer, kemudian ada buku parenting, hobi, kesehatan, agama. Pilihan buku-buku yang sangat pragmatis: buku untuk membantu menjalankan hidup sehari-hari: bisnis, menjadi orang tua, menjaga kesehatan, mengisi waktu luang. Dimana buku yang dapat memberi saya pengetahuan tentang cara bekerjanya alam, kehidupan, pemikiran baru yang mencerahkan (mempertanyakan hal-hal yang telah mapan)?
Mungkin ada namun saya tak dapat menemukannya. Maka saya bertanya kepada bagian informasi,”Adakah buku Richard Dawkins terbaru, The Greatest Show on Earth?” Di layar komputer tidak tampak, berarti tidak ada. Di toko buku impor yang lain, buku ini sudah terpajang sejak beberapa minggu sebelumnya.
Buku-buku yang mencerahkan yang ditulis Jared Diamond, Michio Kaku, Carl Sagan, Richard Dawkins, E.O. Wilson, bahkan Sam Harris atau Christopher Hitchens tidak dapat ditemukan di bagian buku impor Gramedia, meskipun bertebaran di toko-toko buku impor lainnya seperti Periplus, Aksara dan Kinokuniya. Demikian pula buku-buku klasik tidak dapat ditemukan. Tidakkah buku-buku semacam itu yang sebenarnya mencerahkan dan memperkaya pemikiran? Mengapa Gramedia yang demikian megah dan berjaringan luas tidak menjualnya?
Di bagian buku lokal, terjemahan River Out of Eden diletakkan di bagian buku sastra. Mungkin karena judulnya berbau sastra? Sungai dari Firdaus mungkin seperti judul sebuah novel. Atau karena memang tidak ada tempat khusus untuk buku sains populer? Karena saya tidak menemukan buku sains populer yang lainnya.
Di lantai tempat buku lokal, area untuk buku agama menempati ruang yang cukup luas dan mudah dilihat. Mungkin memang bagian inilah yang paling diminati pengunjung, disamping fiksi.
Selain buku agama, bagian buku lokal menyediakan novel pop terjemahan dan chicklit, buku anak, sejarah, biografi, sosial politik, masakan dan kerajinan tangan, interior, kesehatan, bisnis dan motivasi, komputer dan buku pelajaran sekolah. Buku-buku yang berguna dan aman, namun tidak mencerahkan.

Beban Menjadi Besar
Kebebasan berpikir memerlukan bantuan bacaan yang mencerahkan, namun pencerahan merupakan suatu penyadaran: pemberitahuan bahwa ada pengetahuan atau pemikiran yang berbeda dari yang selama ini diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran, yang kebenarannya dapat diteliti sendiri oleh pembaca berdasarkan bukti-bukti atau argumentasi yang disodorkan dalam buku, bahwa sikap rasional dan kritis adalah penting dan perlu. Bacaan mencerahkan seringkali tidak sejalan dengan konservatisme dan kemapanan.Oleh karena itu menjual buku yang mencerahkan mengandung risiko.
Buku-buku yang dianggap “berbahaya” biasanya dapat ditemukan di toko-toko buku kecil, karena mereka kurang dikenal, atau pelanggannya terbatas pada segmen tertentu, sehingga dapat menanggung risiko lebih besar. Jika terjadi sesuatu, kerugian yang mereka alami akan lebih kecil dari toko buku besar. Mungkin itu sebabnya toko berjaringan besar hanya menjual buku yang aman. Karena bila terjadi sesuatu, kerugian yang harus ditanggung akan lebih besar: sorotan publik, yang akan mempengaruhi reputasi dan selanjutnya kunjungan, keamanan gedung-gedung, nasib ratusan pegawai....
Dari sisi ini dapat dimengerti bahwa maksud baik KPG menerjemahkan buku River Out of Eden harus dipromosikan sebagai buku yang akan meningkatkan keimanan pembaca, dan menyembunyikan fakta bahwa penulisnya adalah seorang hard ateis yang berjuang menyebarkan rasionalisme dengan bukti-bukti dari biologi serta kritik keras terhadap agama formal. Penerjemahan buku ini mungkin juga merupakan suatu pengorbanan, karena tampaknya buku ini tidak sukses di pasar.

Enlightening and Enriching the Mind
Toko buku yang berjaringan luas dapat berperan mencerahkan masyarakat jika ia menyediakan buku-buku yang mencerahkan pula. Namun sebagaimana kita lihat, peran itu tidak diambil oleh Gramedia, yang memilih untuk bersikap sangat menjaga keamanan, dengan hanya menjual buku-buku yang datar dan mendukung konservatisme, tidak memberikan alternatif pemikiran yang lain, bahkan tidak menjual buku-buku klasik, kecuali yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sangat disayangkan.
Untunglah kini dengan majunya teknologi informasi, pembaca dapat memperoleh informasi dan membeli buku apa saja yang diinginkan tanpa harus ke toko buku. Namun tetap disayangkan bahwa slogan enlightening and enriching the mind sebenarnya belum disandang oleh Gramedia...




Thursday, July 16, 2009

Arti dan Ketiadaan

Artikel berikut adalah dari Free Inquiry magazine, Volume 22, Number 1.

Diterjemahkan dari situs Secular Humanism:
Meaning and Nothingness -
A personal journey
by James A. Haught
Orang muda pencari kebenaran berjalan melalui tahap bertanya-tanya apakah hidup memiliki arti yang nyata. Mengapa kita disini? Mengapa alam semesta disini? Apakah ada tujuan dari semua ini? Ini adalah pertanyaan terakhir, meliputi yang lainnya.
Para pencari biasanya terjun dalam filsafat, dan menghabiskan bertahun-tahun bersusah payah membahas “keberadaan” dan “esensi” dan berdebat tentang bagaimana pikiran mendapatkan pengetahuan, bagaimana kita menentukan realitas, dan bagaimana bahasa membentuk pengertian kita.

Pada akhirnya, sebagian besar muncul (seperti yang terjadi pada saya) dengan jawaban yang tidak lebih baik dari ketika memulai – dan perasaan bahwa mereka telah memboroskan banyak waktu dan usaha. Omar Khayyan merasakan hal yang sama sembilan ratus tahun yang lalu:

Diriku ketika muda bersemangat mengunjungi mahaguru dan santo,
dan mendengarkan perdebatan agung
Tentang ini dan itu, namun selamanya
Muncul dari pintu yang sama seperti saat ku masuk

Bagaimanapun, meski sia-sia, saya pikir setiap orang cerdas dapat menunjuk pertanyaan mengenai arti hidup dengan rasional tanpa berkutat dalam rincian filosofis dan argumen. Itulah apa yang akan saya lakukan sekarang: hanya mengatakan apa yang dapat diketahui, sebagaimana saya melihatnya. Berikut adalah pandangan pribadi saya yang bersifat amatir.

Pertama, 90% umat manusia – penganut agama – tidak perlu bertanya mengenai arti hidup. Gereja mereka memberi mereka jawaban. Pendeta dan kitab suci mengatakan bahwa Tuhan yang magis, tak terlihat, menciptakan alam semesta dan menempatkan manusia disini untuk diuji, menetapkan peraturan untuk perilaku kita guna diikuti, dan menciptakan surga sebagai balasan bagi mereka yang mengikuti petunjuk setelah mereka mati serta neraka untuk tempat penyiksaan bagi pelanggar perintah setelah mereka mati. Beberapa penjelasan supernatural seperti ini diterima oleh mayoritas luas manusia.

Namun sebagian dari kita tidak dapat menelannya, karena tidak ada bukti. Tak seorangpun pernah membuktikan bahwa manusia terus hidup sesudah kematian. Tak ada yang dapat membuktikan bahwa manusia disiksa atau diberikan balasan atas kebaikannya di dunia kematian – juga tidak bahwa ada jiwa tak terlihat yang menyiksa dan memberi balasan.

Oleh karenanya, manusia yang tak mudah diyakinkan, yang dikutuk menjadi pencari kebenaran, selalu mencari arti hidup namun tidak pernah menemukannya. Saya telah melaluinya selama setengah abad. Sekarang, saya pikir saya dapat menyatakan bahwa terdapat dua jawaban jelas: (1) Hidup tak memiliki arti. (2) Hidup memiliki ribuan arti.

Pertama, kurangnya arti: tentang tujuan akhir atau transcending moral order, semua pemikir besar sejak zaman Yunani kuno telah gagal menemukannya. Telah ada teori tak terbatas, tapi tak ada jawaban jelas. Martin Heidegger menyimpulkan bahwa kita dikutuk untuk menghidupi seluruh hidup kita dan mati tanpa pernah mengetahui mengapa kita disini. Itulah eksistensialisme: semua yang sungguh-sungguh dapat kita ketahui ialah bahwa kita dan dunia material ada (eksis).

Ketika kita mempelajari fakta ilmiah kita menyadari bahwa kosmos dan biosfir kita tampak sangat tak peduli dengan kemanusiaan, dan tak peduli apakah kita kita hidup atau mati. Gempa bumi, topan dan letusan gunung berapi tak peduli apakah mereka mengenai atau tidak mengenai kita. Singa, cacing pita, dan bakteria menganggap kita makanan.

Mengenai moralitas, saya tidak berpikir hal itu ada terlepas dari manusia. Itu hanyalah peraturan-peraturan yang dikembangkan kebudayaan untuk diri mereka sendiri dalam upayanya untuk membuat hidup dapat berjalan baik.

Kaum konservatif berbicara mengenai “hukum alam”, namun sebenarnya tidak ada. Jika orang Ku Klux Klan menggantung orang hitam di cabang sebuah pohon, pohon tak peduli. Tidak juga tupai dan burung-burung di dahan. Tidak juga matahari atau bulan di atas. Alam tak peduli. Hanya manusia peduli.

Atau pikirkan hak-hak manusia. Thomas Jefferson mengatakan bahwa semua orang “diberikan oleh Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat diambil atau dirampas.” Tapi saya pikir Jefferson salah. Tidak ada bukti bahwa Pencipta mengkaruniai seseorang dengan suatu hak-hak yang diberikan Tuhan. Hak-hak tak terampas apa yang dinikmati oleh orang hitam Afrika yang dijual ke perbudakan – termasuk mereka yang terdapat di perkebunan Monticello Jefferson? Hak-hak pemberian Tuhan apa yang menjamin enam juta bangsa Yahudi ke kamp kematian Nazi? Atau sejuta kelas menengah Kamboja yang dibunuh tentara petani Pol Pot? Atau satu juta suku Tutsi yang dibunuh Hutu? Atau anak-anak Uster yang dibunuh oleh bom kaum Katolik dan Protestan? Atau penduduk Hiroshima pada tahun 1945? Atau sekitar satu juta perempuan yang dibakar sebagai penyihir oleh Inkuisisi?

Apakah arti hidup bagi jutaan yang sekarat karena AIDS, jutaan yang mati karena epidemi flu tahun 1918 atau Wabah Hitam, atau 900 orang yang memberikan sianida kepada anak-anaknya di Jonestown, atau 90 orang yang terbakar dengan anak-anaknya di kamp David Koresh? Apa arti yang ada bagi ribuan rakyat Honduras yang tenggelam dalam badai banjir dua tahun yang lalu? Atau enambelas murid taman kanak-kanak yang dibunuh oleh seorang psikopat dengan pistol? Atau dua ribu perempuan Amerika yang dibunuh oleh suami atau kekasihnya setiap tahun? Atau dua puluh ribu bangsa Aztec yang setiap tahun dikorbankan untuk ular terbang yang tak terlihat? Atau dua puluh ribu yang dicekik kaum Thugs untuk dewi mereka Kali?

Tak berarti, tak berguna (senseless), pointless – semua horror ini memiliki absurditas yang fantastis tentangnya. Kata-kata seperti tujuan, hak, dan moral tak dapat dipakai. Kejahatan seperti ini membuat jelas dengan logika sederhana bahwa tidak ada Tuhan ayah yang maha kasih, penyayang, pengampun. Akal sehat membuktikan bahwa Tuhan dermawan modern adalah fantasi yang sebenarnya tidak ada.

Dalam bukunya Consilience, ahli sosiobiologi besar E.O. Wilson menunjuk bahwa terdapat dua cara mendasar dalam melihat realitas: empirisme, hanya mempercayai apa yang diberikan oleh bukti, dan transendentalisme, mempercayai bahwa ketuhanan or hukum (order) moral kosmik eksis terlepas dari manusia. Jika ada bukti yang pernah mendukung yang terakhir, katanya, “Penemuan akan menjadi sangat berarti dalam sejarah manusia”.

Cukup untuk pengenalan bahwa hidup adalah tak berarti. Sekarang untuk realisasi bahwa hidup memiliki banyak arti.

Jelas, realitas fisika, biologi, kimia, atom, sel, zat, radiasi – alam, dengan kata lain – memaksakan keteraturan fisik pada kita. Kita tidak dapat melarikan diri dari hukum alam yang mengatur bintang-bintang pada planet yang mengorbit. Kematian lebih besar dari kita; kita tidak dapat mencegahnya. Karenanya, apapun arti yang ada harus digunakan untuk waktu sementara sewaktu kita hidup.

Jelas, terdapat tujuan fisik dan psikologis untuk hidup. Tubuh kita memerlukan makanan, pakaian,tempat berlindung, kesehatan, kenyamanan kasih sayang, dan keamanan dari kekerasan dan pencurian, dan seterusnya. Kita juga memerlukan hubungan dan reaksi sosial yang bersahabat dengan orang-orang di sekitar kita. Dan kita memerlukan kebebasan demokratis agar kita dapat bicara jujur tanpa takut hukuman, dan hukum supaya kita tidak akan diperlakukan secara kejam. Ini adalah tujuan humanis dalam hidup: untuk memberikan nutrisi yang lebih baik, obat-obatan, perumahan, transportasi, pendidikan, keamanan, hak asasi, dan kebutuhan manusia lainnya.

Untuk mencapai “kehidupan baik” humanis, manusia memiliki kebutuhan tinggi untuk membesarkan anak-anak yang cerdas, sehat, perhatian, dan bertanggung jawab. Kadangkala, saya berpikir bahwa satu-satunya tujuan terbesar dalam hidup ini ialah membesarkan anak-anak yang baik.

Saya pikir kita memberi persetujuan mengenai arti hidup secara biologis psikologis. Kita percaya dalam hal mencegah peperangan, menyembuhkan penyakit, mengakhiri kelaparan, meningkatkan literasi, mengurangi kejahatan, menghindari kekurangan makan, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang membuat hidup menyenangkan – sampai kematian mengambil kita. Bagaimanapun, disamping dari tujuan berjenis “pekerjaan rumah tangga”, adakah arti yang lebih besar yang melampaui kebutuhan manusia? Saya pikir tidak. Paling tidak, saya tidak pernah dapat menemukan bukti apapun tentang itu. Kita hanya harus mencoba membuat kehidupan sebaik mungkin, dan menghindari horror, dan perhatian pada orang lain, dan membuat kegembiraan, meskipun tahu kekaburan sedang menjelang.

Tanam jerami selagi matahari bersinar, karena kegelapan menjelang. Carpe diem: renggut hari untuk saat ini; hidup sepenuhnya selagi anda bisa. Omar Khayyam melihat kebodohan dari mengagungkan diri sendiri, karena kebangkrutan atau sakit akan segera menghapus seseorang:”Bodoh, balasanmu tidaklah disini atau disana”. Jadi penyelesaian Omar adalah mencari kesenangan dalam puisi, anggur, dan kekasihnya “disampingku menyanyi dalam hutan belantara – dan hutan belantara cukup surgawi.” Sekitar 1400 tahun sebelum dia, skeptik besar Yunani Epicurus merasakan hal yang sama.

Jadi ini yang anda dapat: Kita yang bukan kaum ortodoks religius tidak dapat menemukan alasan yang mendasari eksistensi/keberadaan. Dan kita tahu bahwa kematian merangkak di depan. Jadi kita harus membuat masa antara sebaik mungkin sementara kita disini. Pandangan akan tujuan hidup seperti ini diringkaskan beberapa tahun yang lalu oleh judul seminar Unitarian:”Menari di Ngarai Gelap”. Dan Zorba Yunani mengajar kita, Apakah hidup, jika bukan untuk menari?

Indoktrinasi, Skeptisisme, Informasi

Ada seorang pembaca blog ini yang menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan indoktrinasi, hipnosis, selama maksudnya baik, dan skeptisme harus dihindari.
Baiklah. Mengapa saya tidak setuju dengan indoktrinasi, hipnosis?

Indoktrinasi ialah pengajaran kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk bersikap kritis. Dengan demikian indoktrinasi menutup diri dari pertanyaan, penelitian dan ketidakpercayaan. Setiap pertanyaan yang meragukan kebenaran doktrin yang diajarkan adalah tabu, tidak patut dan dosa. Hipnosis adalah salah satu metode untuk menanamkan indoktrinasi, dengan melumpuhkan syaraf-syaraf kesadaran dan rasio agar ajaran mudah masuk ke dalam otak tanpa disadari oleh pihak lain, sehingga tidak ada perlawanan. Metodenya antara lain melalui pembangkitan emosi, sehingga rasionalitas dan daya kritis seseorang diharapkan menghilang. Dengan demikian keduanya bersifat paksaan.
Sejak kecil, anak-anak telah didoktrin dengan ajaran tentang kepercayaan orang tuanya masing-masing secara intensif. Saya katakan didoktrin, karena tidak seperti ilmu pengetahuan alam atau ilmu sosial, dimana pertanyaan apapun tidak dilarang bahkan murid ditantang untuk membuktikan kebenaran pernyataan atau teori yang diajarkan, dalam hal kepercayaan, pertanyaan kritis dilarang, dan ketidakpercayaan bahkan keraguan saja diancam dengan pembakaran dalam neraka untuk selama-lamanya serta penghinaan dan pengucilan dari masyarakat. Disini doktrin memanfaatkan rasa takut untuk menanamkan ajaranya.
Sejak kecil anak-anak telah diajarkan untuk tidak bertanya dengan kritis, untuk takut berpikir bebas atau berbeda, untuk belajar menerima apapun yang diajarkan betapapun absurd dan bertentangan dengan logika dan fakta empiris. Itu sebabnya, para orang tua berusaha keras mengajarkan kepercayaannya kepada anak-anak sejak sedini mungkin. Sebelum mereka mengetahui apapun, mereka telah diberikan pengetahuan yang tidak terbantahkan kebenarannya dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Pengetahuan, yang akan menjadi kepercayaan mereka di masa dewasa ini, akan menyelamatkan jiwa dan hidup mereka.
Kita hidup dalam dunia informasi yang bias. Jika seseorang malas belajar, puas dengan hidup ini dan tidak ingin mengetahui lebih banyak, dunia hanya memberikan informasi dari satu sisi. Yaitu informasi yang sesuai untuk sifat massa. Informasi tersebut belum tentu benar, namun dapat diterima massa karena bersifat menenangkan dan menghibur. (Ingat budaya massa?)
Pengetahuan dan kebudayaan berkembang, namun perkembangan itu seringkali perlahan, dan tidak semua orang dapat mengaksesnya pada saat awal perkembangannya.
Bayangkan anda hidup di zaman tidak lama setelah Galileo. Ketika itu semua orang masih percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta, karena demikian yang tergambar dari kitab suci dan dipercaya oleh gereja. Sebagian besar orang tidak mengetahui, bahwa sebenarnya bumilah yang mengitari matahari. Sudah tentu sebagian besar masyarakat juga mendukung gereja, yang menghukum Galileo atau siapapun yang berpendapat tidak sama dengan kepercayaan yang dianut masyarakat waktu itu. Kini kita mengetahui, bahwa masyarakat banyak itu, dan otoritas, salah. Dan perlu ratusan tahun hanya untuk memperjuangkan hal tersebut. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran:
Pendapat otoritas belum tentu benar
Pendapat mayoritas publik (massa) bisa salah.
Kitab suci tidak menceritakan sesuatu yang berarti tentang alam semesta
Kejadian di atas berulangkali terjadi. Setelah astronomi, kemudian kedokteran, lalu biologi. Kejadiannya sama. Mula-mula mereka menolak, kemudian karena bukti-bukti tidak dapat dibantah lagi akibat terlalu banyak, akhirnya terpaksa mengakui.
Namun kejadian-kejadian di atas membuka mata kita, bahwa percaya begitu saja tidak benar. Bahwa kita bisa menemukan banyak hal jika kita tidak menerima begitu saja indoktrinasi yang diberikan oleh otoritas. Bahwa dengan bersikap skeptik, kita dapat mengarah kepada kebenaran yang sesungguhnya.
Berapa banyak informasi yang anda miliki tentang cara bekerja alam semesta? Tentang luas alam semesta? Tentang sejarah agama? Tentang sejarah peradaban manusia? Adakah informasi tersebut mudah kita dapatkan?
Khususnya di Indonesia, informasi tersebut hampir tidak bisa didapatkan secara memuaskan. Mengapa? Karena informasi yang ada hanya dari satu sisi. Dan jika anda hanya mengetahui informasi dari satu sisi, bagaimana anda dapat menghadapi kritik dengan baik?
Catatan:
Menurut data dari industri perbukuan, penjualan buku agama mencapai 60% dari total penjualan buku di Indonesia. Dari sini saja sudah terlihat, penyebaran informasi apa yang paling banyak terdapat di masyarakat.