Thursday, July 16, 2009

Arti dan Ketiadaan

Artikel berikut adalah dari Free Inquiry magazine, Volume 22, Number 1.

Diterjemahkan dari situs Secular Humanism:
Meaning and Nothingness -
A personal journey
by James A. Haught
Orang muda pencari kebenaran berjalan melalui tahap bertanya-tanya apakah hidup memiliki arti yang nyata. Mengapa kita disini? Mengapa alam semesta disini? Apakah ada tujuan dari semua ini? Ini adalah pertanyaan terakhir, meliputi yang lainnya.
Para pencari biasanya terjun dalam filsafat, dan menghabiskan bertahun-tahun bersusah payah membahas “keberadaan” dan “esensi” dan berdebat tentang bagaimana pikiran mendapatkan pengetahuan, bagaimana kita menentukan realitas, dan bagaimana bahasa membentuk pengertian kita.

Pada akhirnya, sebagian besar muncul (seperti yang terjadi pada saya) dengan jawaban yang tidak lebih baik dari ketika memulai – dan perasaan bahwa mereka telah memboroskan banyak waktu dan usaha. Omar Khayyan merasakan hal yang sama sembilan ratus tahun yang lalu:

Diriku ketika muda bersemangat mengunjungi mahaguru dan santo,
dan mendengarkan perdebatan agung
Tentang ini dan itu, namun selamanya
Muncul dari pintu yang sama seperti saat ku masuk

Bagaimanapun, meski sia-sia, saya pikir setiap orang cerdas dapat menunjuk pertanyaan mengenai arti hidup dengan rasional tanpa berkutat dalam rincian filosofis dan argumen. Itulah apa yang akan saya lakukan sekarang: hanya mengatakan apa yang dapat diketahui, sebagaimana saya melihatnya. Berikut adalah pandangan pribadi saya yang bersifat amatir.

Pertama, 90% umat manusia – penganut agama – tidak perlu bertanya mengenai arti hidup. Gereja mereka memberi mereka jawaban. Pendeta dan kitab suci mengatakan bahwa Tuhan yang magis, tak terlihat, menciptakan alam semesta dan menempatkan manusia disini untuk diuji, menetapkan peraturan untuk perilaku kita guna diikuti, dan menciptakan surga sebagai balasan bagi mereka yang mengikuti petunjuk setelah mereka mati serta neraka untuk tempat penyiksaan bagi pelanggar perintah setelah mereka mati. Beberapa penjelasan supernatural seperti ini diterima oleh mayoritas luas manusia.

Namun sebagian dari kita tidak dapat menelannya, karena tidak ada bukti. Tak seorangpun pernah membuktikan bahwa manusia terus hidup sesudah kematian. Tak ada yang dapat membuktikan bahwa manusia disiksa atau diberikan balasan atas kebaikannya di dunia kematian – juga tidak bahwa ada jiwa tak terlihat yang menyiksa dan memberi balasan.

Oleh karenanya, manusia yang tak mudah diyakinkan, yang dikutuk menjadi pencari kebenaran, selalu mencari arti hidup namun tidak pernah menemukannya. Saya telah melaluinya selama setengah abad. Sekarang, saya pikir saya dapat menyatakan bahwa terdapat dua jawaban jelas: (1) Hidup tak memiliki arti. (2) Hidup memiliki ribuan arti.

Pertama, kurangnya arti: tentang tujuan akhir atau transcending moral order, semua pemikir besar sejak zaman Yunani kuno telah gagal menemukannya. Telah ada teori tak terbatas, tapi tak ada jawaban jelas. Martin Heidegger menyimpulkan bahwa kita dikutuk untuk menghidupi seluruh hidup kita dan mati tanpa pernah mengetahui mengapa kita disini. Itulah eksistensialisme: semua yang sungguh-sungguh dapat kita ketahui ialah bahwa kita dan dunia material ada (eksis).

Ketika kita mempelajari fakta ilmiah kita menyadari bahwa kosmos dan biosfir kita tampak sangat tak peduli dengan kemanusiaan, dan tak peduli apakah kita kita hidup atau mati. Gempa bumi, topan dan letusan gunung berapi tak peduli apakah mereka mengenai atau tidak mengenai kita. Singa, cacing pita, dan bakteria menganggap kita makanan.

Mengenai moralitas, saya tidak berpikir hal itu ada terlepas dari manusia. Itu hanyalah peraturan-peraturan yang dikembangkan kebudayaan untuk diri mereka sendiri dalam upayanya untuk membuat hidup dapat berjalan baik.

Kaum konservatif berbicara mengenai “hukum alam”, namun sebenarnya tidak ada. Jika orang Ku Klux Klan menggantung orang hitam di cabang sebuah pohon, pohon tak peduli. Tidak juga tupai dan burung-burung di dahan. Tidak juga matahari atau bulan di atas. Alam tak peduli. Hanya manusia peduli.

Atau pikirkan hak-hak manusia. Thomas Jefferson mengatakan bahwa semua orang “diberikan oleh Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat diambil atau dirampas.” Tapi saya pikir Jefferson salah. Tidak ada bukti bahwa Pencipta mengkaruniai seseorang dengan suatu hak-hak yang diberikan Tuhan. Hak-hak tak terampas apa yang dinikmati oleh orang hitam Afrika yang dijual ke perbudakan – termasuk mereka yang terdapat di perkebunan Monticello Jefferson? Hak-hak pemberian Tuhan apa yang menjamin enam juta bangsa Yahudi ke kamp kematian Nazi? Atau sejuta kelas menengah Kamboja yang dibunuh tentara petani Pol Pot? Atau satu juta suku Tutsi yang dibunuh Hutu? Atau anak-anak Uster yang dibunuh oleh bom kaum Katolik dan Protestan? Atau penduduk Hiroshima pada tahun 1945? Atau sekitar satu juta perempuan yang dibakar sebagai penyihir oleh Inkuisisi?

Apakah arti hidup bagi jutaan yang sekarat karena AIDS, jutaan yang mati karena epidemi flu tahun 1918 atau Wabah Hitam, atau 900 orang yang memberikan sianida kepada anak-anaknya di Jonestown, atau 90 orang yang terbakar dengan anak-anaknya di kamp David Koresh? Apa arti yang ada bagi ribuan rakyat Honduras yang tenggelam dalam badai banjir dua tahun yang lalu? Atau enambelas murid taman kanak-kanak yang dibunuh oleh seorang psikopat dengan pistol? Atau dua ribu perempuan Amerika yang dibunuh oleh suami atau kekasihnya setiap tahun? Atau dua puluh ribu bangsa Aztec yang setiap tahun dikorbankan untuk ular terbang yang tak terlihat? Atau dua puluh ribu yang dicekik kaum Thugs untuk dewi mereka Kali?

Tak berarti, tak berguna (senseless), pointless – semua horror ini memiliki absurditas yang fantastis tentangnya. Kata-kata seperti tujuan, hak, dan moral tak dapat dipakai. Kejahatan seperti ini membuat jelas dengan logika sederhana bahwa tidak ada Tuhan ayah yang maha kasih, penyayang, pengampun. Akal sehat membuktikan bahwa Tuhan dermawan modern adalah fantasi yang sebenarnya tidak ada.

Dalam bukunya Consilience, ahli sosiobiologi besar E.O. Wilson menunjuk bahwa terdapat dua cara mendasar dalam melihat realitas: empirisme, hanya mempercayai apa yang diberikan oleh bukti, dan transendentalisme, mempercayai bahwa ketuhanan or hukum (order) moral kosmik eksis terlepas dari manusia. Jika ada bukti yang pernah mendukung yang terakhir, katanya, “Penemuan akan menjadi sangat berarti dalam sejarah manusia”.

Cukup untuk pengenalan bahwa hidup adalah tak berarti. Sekarang untuk realisasi bahwa hidup memiliki banyak arti.

Jelas, realitas fisika, biologi, kimia, atom, sel, zat, radiasi – alam, dengan kata lain – memaksakan keteraturan fisik pada kita. Kita tidak dapat melarikan diri dari hukum alam yang mengatur bintang-bintang pada planet yang mengorbit. Kematian lebih besar dari kita; kita tidak dapat mencegahnya. Karenanya, apapun arti yang ada harus digunakan untuk waktu sementara sewaktu kita hidup.

Jelas, terdapat tujuan fisik dan psikologis untuk hidup. Tubuh kita memerlukan makanan, pakaian,tempat berlindung, kesehatan, kenyamanan kasih sayang, dan keamanan dari kekerasan dan pencurian, dan seterusnya. Kita juga memerlukan hubungan dan reaksi sosial yang bersahabat dengan orang-orang di sekitar kita. Dan kita memerlukan kebebasan demokratis agar kita dapat bicara jujur tanpa takut hukuman, dan hukum supaya kita tidak akan diperlakukan secara kejam. Ini adalah tujuan humanis dalam hidup: untuk memberikan nutrisi yang lebih baik, obat-obatan, perumahan, transportasi, pendidikan, keamanan, hak asasi, dan kebutuhan manusia lainnya.

Untuk mencapai “kehidupan baik” humanis, manusia memiliki kebutuhan tinggi untuk membesarkan anak-anak yang cerdas, sehat, perhatian, dan bertanggung jawab. Kadangkala, saya berpikir bahwa satu-satunya tujuan terbesar dalam hidup ini ialah membesarkan anak-anak yang baik.

Saya pikir kita memberi persetujuan mengenai arti hidup secara biologis psikologis. Kita percaya dalam hal mencegah peperangan, menyembuhkan penyakit, mengakhiri kelaparan, meningkatkan literasi, mengurangi kejahatan, menghindari kekurangan makan, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang membuat hidup menyenangkan – sampai kematian mengambil kita. Bagaimanapun, disamping dari tujuan berjenis “pekerjaan rumah tangga”, adakah arti yang lebih besar yang melampaui kebutuhan manusia? Saya pikir tidak. Paling tidak, saya tidak pernah dapat menemukan bukti apapun tentang itu. Kita hanya harus mencoba membuat kehidupan sebaik mungkin, dan menghindari horror, dan perhatian pada orang lain, dan membuat kegembiraan, meskipun tahu kekaburan sedang menjelang.

Tanam jerami selagi matahari bersinar, karena kegelapan menjelang. Carpe diem: renggut hari untuk saat ini; hidup sepenuhnya selagi anda bisa. Omar Khayyam melihat kebodohan dari mengagungkan diri sendiri, karena kebangkrutan atau sakit akan segera menghapus seseorang:”Bodoh, balasanmu tidaklah disini atau disana”. Jadi penyelesaian Omar adalah mencari kesenangan dalam puisi, anggur, dan kekasihnya “disampingku menyanyi dalam hutan belantara – dan hutan belantara cukup surgawi.” Sekitar 1400 tahun sebelum dia, skeptik besar Yunani Epicurus merasakan hal yang sama.

Jadi ini yang anda dapat: Kita yang bukan kaum ortodoks religius tidak dapat menemukan alasan yang mendasari eksistensi/keberadaan. Dan kita tahu bahwa kematian merangkak di depan. Jadi kita harus membuat masa antara sebaik mungkin sementara kita disini. Pandangan akan tujuan hidup seperti ini diringkaskan beberapa tahun yang lalu oleh judul seminar Unitarian:”Menari di Ngarai Gelap”. Dan Zorba Yunani mengajar kita, Apakah hidup, jika bukan untuk menari?

Indoktrinasi, Skeptisisme, Informasi

Ada seorang pembaca blog ini yang menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan indoktrinasi, hipnosis, selama maksudnya baik, dan skeptisme harus dihindari.
Baiklah. Mengapa saya tidak setuju dengan indoktrinasi, hipnosis?

Indoktrinasi ialah pengajaran kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk bersikap kritis. Dengan demikian indoktrinasi menutup diri dari pertanyaan, penelitian dan ketidakpercayaan. Setiap pertanyaan yang meragukan kebenaran doktrin yang diajarkan adalah tabu, tidak patut dan dosa. Hipnosis adalah salah satu metode untuk menanamkan indoktrinasi, dengan melumpuhkan syaraf-syaraf kesadaran dan rasio agar ajaran mudah masuk ke dalam otak tanpa disadari oleh pihak lain, sehingga tidak ada perlawanan. Metodenya antara lain melalui pembangkitan emosi, sehingga rasionalitas dan daya kritis seseorang diharapkan menghilang. Dengan demikian keduanya bersifat paksaan.
Sejak kecil, anak-anak telah didoktrin dengan ajaran tentang kepercayaan orang tuanya masing-masing secara intensif. Saya katakan didoktrin, karena tidak seperti ilmu pengetahuan alam atau ilmu sosial, dimana pertanyaan apapun tidak dilarang bahkan murid ditantang untuk membuktikan kebenaran pernyataan atau teori yang diajarkan, dalam hal kepercayaan, pertanyaan kritis dilarang, dan ketidakpercayaan bahkan keraguan saja diancam dengan pembakaran dalam neraka untuk selama-lamanya serta penghinaan dan pengucilan dari masyarakat. Disini doktrin memanfaatkan rasa takut untuk menanamkan ajaranya.
Sejak kecil anak-anak telah diajarkan untuk tidak bertanya dengan kritis, untuk takut berpikir bebas atau berbeda, untuk belajar menerima apapun yang diajarkan betapapun absurd dan bertentangan dengan logika dan fakta empiris. Itu sebabnya, para orang tua berusaha keras mengajarkan kepercayaannya kepada anak-anak sejak sedini mungkin. Sebelum mereka mengetahui apapun, mereka telah diberikan pengetahuan yang tidak terbantahkan kebenarannya dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Pengetahuan, yang akan menjadi kepercayaan mereka di masa dewasa ini, akan menyelamatkan jiwa dan hidup mereka.
Kita hidup dalam dunia informasi yang bias. Jika seseorang malas belajar, puas dengan hidup ini dan tidak ingin mengetahui lebih banyak, dunia hanya memberikan informasi dari satu sisi. Yaitu informasi yang sesuai untuk sifat massa. Informasi tersebut belum tentu benar, namun dapat diterima massa karena bersifat menenangkan dan menghibur. (Ingat budaya massa?)
Pengetahuan dan kebudayaan berkembang, namun perkembangan itu seringkali perlahan, dan tidak semua orang dapat mengaksesnya pada saat awal perkembangannya.
Bayangkan anda hidup di zaman tidak lama setelah Galileo. Ketika itu semua orang masih percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta, karena demikian yang tergambar dari kitab suci dan dipercaya oleh gereja. Sebagian besar orang tidak mengetahui, bahwa sebenarnya bumilah yang mengitari matahari. Sudah tentu sebagian besar masyarakat juga mendukung gereja, yang menghukum Galileo atau siapapun yang berpendapat tidak sama dengan kepercayaan yang dianut masyarakat waktu itu. Kini kita mengetahui, bahwa masyarakat banyak itu, dan otoritas, salah. Dan perlu ratusan tahun hanya untuk memperjuangkan hal tersebut. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran:
Pendapat otoritas belum tentu benar
Pendapat mayoritas publik (massa) bisa salah.
Kitab suci tidak menceritakan sesuatu yang berarti tentang alam semesta
Kejadian di atas berulangkali terjadi. Setelah astronomi, kemudian kedokteran, lalu biologi. Kejadiannya sama. Mula-mula mereka menolak, kemudian karena bukti-bukti tidak dapat dibantah lagi akibat terlalu banyak, akhirnya terpaksa mengakui.
Namun kejadian-kejadian di atas membuka mata kita, bahwa percaya begitu saja tidak benar. Bahwa kita bisa menemukan banyak hal jika kita tidak menerima begitu saja indoktrinasi yang diberikan oleh otoritas. Bahwa dengan bersikap skeptik, kita dapat mengarah kepada kebenaran yang sesungguhnya.
Berapa banyak informasi yang anda miliki tentang cara bekerja alam semesta? Tentang luas alam semesta? Tentang sejarah agama? Tentang sejarah peradaban manusia? Adakah informasi tersebut mudah kita dapatkan?
Khususnya di Indonesia, informasi tersebut hampir tidak bisa didapatkan secara memuaskan. Mengapa? Karena informasi yang ada hanya dari satu sisi. Dan jika anda hanya mengetahui informasi dari satu sisi, bagaimana anda dapat menghadapi kritik dengan baik?
Catatan:
Menurut data dari industri perbukuan, penjualan buku agama mencapai 60% dari total penjualan buku di Indonesia. Dari sini saja sudah terlihat, penyebaran informasi apa yang paling banyak terdapat di masyarakat.