Monday, August 13, 2007

Critical Thinking, Books and Increased Intolerance

Ramainya sebuah jaringan toko buku besar di setiap mal yang saya kunjungi di Jakarta – dan kota-kota lain – seolah memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia telah gemar membaca dan mencari ilmu, sehingga menimbulkan harapan bahwa masyarakat semakin cerdas dan berwawasan luas. Namun mengapa kita merasakan adanya penurunan sikap toleransi dan persatuan, serta peningkatan konservatisme dalam beragama?

Saya teringat belasan tahun yang lalu ketika mengikut penataran P4 sebagai persyaratan memasuki perguruan tinggi. Saat pembahasan mengenai gotong royong, diberikan contoh pembangunan candi Borobudur. Salah seorang peserta dengan kritisnya meragukan pernyataan tersebut, dengan menanyakan bukti-buktinya dan menyebutkan bahwa berdasarkan sejarah selama ini di beberapa tempat lain di dunia, besar kemungkinan bahwa pembangunan candi tersebut tidak dilakukan dengan cara gotong royong yang penuh damai, namun dengan cara penindasan atau bahkan perbudakan, dan seterusnya. Ini hanyalah salah satu contoh.
Saya ingat, bahwa saat itu tidak seorangpun diantara kami memiliki semangat meragukan sesuatu dan meminta bukti sekuat teman saya tersebut. Kalau saya pikirkan kembali, hal itu tidaklah mengherankan. Karena dia bukan lulusan sekolah menengah di Indonesia. Ia telah biasa berpikir kritis.

Wartawan Belanda yang mewawancarai Pramudya Ananta Toer dalam buku Aku Terbakar Amarah Sendirian memiliki pertanyaan menarik yang tidak mungkin akan ditanyakan oleh wartawan Indonesia, antara lain,”Mengapa susah sekali mencari buku yang bagus disini?” “Mengapa generasi muda tidak pernah berpikir kritis, bahkan mendukung status quo, dan sangat taat beragama?” Pertanyaan seperti itu tidak pernah terpikirkan bagi orang Indonesia, karena berpikir kritis tidak begitu diharapkan, sebab dapat menimbulkan dosa atau menyinggung perasaan orang lain, dan semakin taat beragama semakin baik, bahkan sangat diharapkan.

Tidak dapat dipungkiri, meskipun secara fisik kita tampak telah modern, namun dari sisi budaya keadaannya terbalik: masyarakat semakin konservatif, pengendalian terhadap pikiran dan penampilan yang bertentangan agama semakin ketat.
Buku yang dijual di toko-toko buku yang luas di mal-mal 60% merupakan buku agama, disusul buku anak-anak, buku pelajaran, dan buku self help serta buku panduan. Sisanya barulah buku umum yang masih sangat terbatas dan relatif rendah mutunya.
Rakyat Indonesia yang kurang memiliki kemampuan berbahasa Inggris atau tidak mampu/ tidak bersedia mengakses internet dan hanya bergantung pada buku-buku berbahasa Indonesia yang dijual di toko-toko akan cukup sempit wawasannya. Mengapa? Karena 99% buku-buku terpenting yang sepatutnya dibaca untuk mendapatkan pengetahuan dasar sebagai seorang yang cukup berpendidikan dan cukup membaca tidak ada dalam bahasa Indonesia. Pemerintah tidak pernah berupaya menerjemahkan buku-buku klasik yang dapat memperluas wawasan, menambah pengetahuan dan menghaluskan budi pekerti warganya, dan penerbit umum tidak menerbitkan buku-buku terbaru tentang penemuan-penemuan penting terakhir dalam sains yang patut diketahui orang banyak, apalagi buku yang mendorong rasa ingin tahu, pemikiran rasional, dan pemikiran kritis. Setelah 62 tahun merdeka, benarkah kita berniat mencerdaskan bangsa?

Mengapa buku-buku bagus perlu? Mengapa daya kritis, rasa ingin tahu yang tinggi perlu? Karena meskipun secara politik negeri ini telah menganut sistem demokrasi, namun secara pendidikan, pemikiran, masih bersistem indoktrinasi. Indoktrinasi ialah suatu sistem pendidikan yang mengharapkan peserta didik untuk menuruti apa yang diajarkan, untuk lebih banyak patuh, mengendalikan diri untuk tidak menanyakan atau meragukan hal yang menurut masyarakat dianggap telah mapan atau tidak patut untuk disangsikan atau telah diterima sebagai kebenaran. Salah satu cara menciptakan hal ini ialah dengan menyediakan informasi (misalnya buku-buku) yang mendukung nilai-nilai tertentu saja. Dengan demikian informasi yang tersedia di masyarakat (toko buku misalnya) dapat dikatakan bias. Apabila masyarakat tidak memiliki informasi lain yang berbeda sebagai pembanding, maka informasi yang tersedia akan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Kritik terhadap satu-satunya kebenaran yang diketahui akan ditanggapi dengan emosional, kemarahan, dan bukan dengan meninjau secara dingin dan rasional dari berbagai sisi. Ketiadaan pengetahuan dasar yang memadai mengenai evolusi alam, budaya dan sejarah, membuat sebagian besar orang tidak dapat membuat penilaian secara obyektif dan bersifat apriori terhadap kritik dan cenderung menerima saja nilai-nilai yang dianut mayoritas tanpa mengevaluasinya kembali secara kritis dan teliti berdasarkan fakta dan ilmu pengetahuan terakhir.

Buku-buku atau informasi yang seimbang perlu agar masyarakat dapat bersikap kritis, rasional, skeptikal dan obyektif, sehingga sikap yang diambil telah berdasarkan infromasi yang memadai, tidak bias. Kebiasaan berpikir kritis juga akan mengarah kepada kejujuran pikiran, kebebasan dan penghargaan terhadap pendapat atau sikap hidup yang berbeda, sehingga akan timbul sikap toleransi.


2 comments:

Chandra Wirapati said...

Kita seharusnya menjadi murid kebenaran, dan kebenaran yang sejati itu berada di luar kepala kita. Plato sudah menyinggung ini dalam “utopia”-nya. Bahkan untuk seekor kucing, pun kita kesulitan untuk menggambarkannya, menyebut cirri-cirinya –terlalu banyak yang harusnya spesifik terlalu general dan sebaliknya, yang cukup general menjadi terlalu detil kecil-kecil ketika kita berusaha mengungkapkannya.

Kita harus kritis dan tentu saja teliti. Tetapi kebenaran belum tentu berdasarkan bukti, fakta. Kebenaran bukti atau fakta hanyalah ”kesepakatan sementara waktu” diantara para ahli ilmu pengetahuan, diaatara para penemu, pemikir, pembukti atau sekedar pembaca dan pengomentar seperti saya saat ini. Kesepakatan bahwa planet-planet mengitari bumi sudah berakhir, diganti oleh kesepakatan kita saat ini: tata surya mengitari matahari (dan oleh karena itu kita meyebutnya tata surya) fakta bahwa penciptaan melalui proses big-bang sedang dipertahankan, kesepakatan tentang teori Darwin sedang ditentang oleh sekelompok orang yang percaya bahwa sesungguhnya teori Darwin saat ini bukanlah seperti yang dimaksud Darwin pada masa ia menulisnya.

Kesepakatan-kesepakatan yang memang kita perlukan, tetapi jaman terus membongkar pasang dirinya sendiri, berputar-putar dan ternyata, hanya sedikit sekali majunya. Sementara 12345 x 67890 = 838,102,050 sudah dianggap ebagai kebenaran seja beratus tahun lalu, bahkan 1 + 1 belum tentu = 2 ketika logika biner tiba-tiba ditemukan pada abag 20. Ketika Thomas Kuhn belum sempat menyimpulkan apa-apa dari ”paradigm shift” yang ditulisnya, ternyata tahun ini NASA menyatakan bahwa Pluto tidak lagi boleh diaggap sebagai planet ! Dan ketika postmoderen sedang mengambil alih cara berpikir semua orang saat ini, kekuatan Renaisance bahkan dipercaya masih sangat berperan dalam pembuatan desain Ferrari hingga Blackberry ...

Kita adalah murid kebenaran. Yang tidak lebih dahulu ingin melihat ijazah setiap pilot Garuda yang akan menerbangkan pesawat kita ketika kita harus ke Surabaya atau Medan, bukan ? Ternyata, sebagai murid kebenaran, kita butuh faith untuk sebuah kebenaran terlebih dahulu. Bukti sekuat apapun tak akan sanggup membuat kita percaya, membuat kita sampai pada sebuah kesepakatan apapun. Percaya dulu baru bukti. Bukan bukti dulu baru percaya. Truth needs faith.

Dan kita tetap harus sebagai murid kebenaran, padahal fakta dan ”ilmu pengetahuan terakhir” ternyata sangat-sangat rentan untuk menjadi usang dalam sedetik. Lalu kalau semua kebenaran yang sanggup nyangkut di kepala kita ternyata hanya sementara semua, di mana kebenaran sejati yang absolut berada ? Di dunia ide, kata Plato. Yang tak ambigu ? Setiap satu pengetahuan ditemukan (kata ”ditemukan” inipun tidak pernah tepat), ia akan menghasilkan ”.bak file”, file yang corrupted, yang menjadi celah jatuhnya kebenaran itu kemudian hari, seperti ”.bak file” pada program komputer, begitulah: ironi, paradoks, ambiguity pun muncul sebagai ”residu” dari invention bukan ? Sampai hari ini ditemukan ribuan Logical Fallacy dalam pemikiran dan cara berpikir manusia. Ingat insiden orang Kreta ala Socrates ?

Tapi kebenaran memang bukan berada di dalam agama, selain bukan di tangan seorang Socrates. Agama pun cuma berani memberi pilihan: kalau engkau baik masuk surga, kalau jahat, ada neraka. Yang tak percaya agama, percayakanlah hidup dan nilai dirimu di mata masyarakat. Lucunya, masyarakat sendiri pun semakin tidak bernilai, kebudayaan yang makin tercampur satu sama lain hanya sanggup melahirkan budaya baru yang lebih merosot, peradaban manusia pun semakin mundur. Modernisasi hanya soal kemudahan, bukan nilai. Soal materi bahkan bukan nurani atau filosofi. Jangan juga kira Renaisance adalah kemajuan mentang-mentang ia begitu mengagumkan untuk 200 tahun lebih dan pengaruhnya hingga sekarang ... ia hanya pengulangan Romanescue. Post-modern ? Lebih-lebih. Nothing. Jadi, kepada yang semakin turun nilainya itukah kita ingin dinilai ? Merasa cuku dinilai, berada dan ”become something” ? Atau kita gantungkan saja pada agama ? Biasanya mereka (agama) cuma panik, fanatik atau bahkan menjadi picik menghadapi arah dan arus dunia yang dianggap semakin jauh dari langit. Lucu lagi ya, padahal arah semakin tak jelas dan arus semakin berputar-putar, malah dianggap sebagai ancaman. Sampai perlu RUU melindungi Tuhan ... Memang maksudnya menjaga umat, pengikut suatu agama, tapi kalau dipikir lebih kritis (sebagai topik kita ini: kritis) kok fakta jadi terbalik: ”kita yang sok ingin menjaga Tuhan ?”. Padahal menjaga dompet sendiri saja sulit. Itulah penipuan terbesar dunia yang semakin tidak jelas cara berpikirnya, yang nantinya akan tercatat juga sebagai sejarah, sejarah dan lagi-lagi sejarah. Manusia itu memang lucu-lucu aja. Capeeek deh ...

Soal buku, buku-buku yang ada di toko buku kita memang sangat-sangat miskin, terbelakang dan memalukan, dalam konteks buku bagaimanapun berisi pengetahuan sementara, kesepakatan-kesepakatan yang saat in kita pegang atau setidaknya kita hidup diantaranya. Lalu larilah mereka kepada buku-buku agama yang lebih sering menakut-nakuti, tertutup pada dirinya sendiri bahkan menutup kebebasan Tuhan menutup diri dari ”kemajuan” dunia –padahal dunia belum tentu maju.

Duniamemang mundur secara kualitas. Mana ada lagi pemkir sekelas Plato atau Socrates setelah sekian abad ? Mana ada lagi patriot seberani Aleksander Agung sejak ia sendiri mati muda ? Kapan kali terakhir ada orang sebijak Mensius ? Mana ada jaman seindah renaisance ? Kapan ada kegilaan musik bernutu seindah jaman Barroque ? Bahkan dome seindah Florence Duomo atau fresco seindah ”The Creation of Man-nya Michaelangelo” ? Kapan ada orang berani mengumpulkan filsuf, pemikir dan ilmuwan seperti ketika Sanzio Raphael mengumpulkan orang-orang hebat sekelas Aristoteles, Archimedes, bahkan Zoroaster dalam School of Athene yang terkenal itu ? Orang malah terkagum-kagum interior Bvlgari Hotel di Milan yang minimalis (dalam kacamata saya: sungguh-sungguh minim akan taste of art yang berkualitas. Di Indonesia, kita begitu gobloknya bergoyang-goyang sia-sia hanya karena kucing garong atau buaya darat.

Masihkah kita adalah murid kebenaran ? Bukan murid agama, yang lebih mudah untuk cenderung menjadi fanatik, fundamentalis bahkan mliteristik ! Saya bersyukur bahwa saya tidak perlu memilih untuk hidup seperti apa agar tak hangus di neraka, karena Yesus sudah menjamin itu bagi saya, sehingga saya bebas melakukan kebaikan apapun (kalau saya mau), atau tak berbuat apapun sekalipun, tanpa terbeban pikiran dengan itu saya akan dilempar ke neraka atau diberi surga. Hidup bukan soal sorga atau neraka. Hidup mungkin bukan soal beragama, tetapi bagaimana memiliki relasi pribadi dengan sumber kebenaran itu sendiri, yaitu the Absolut Truth: Tuhan.

Maka saya mejadi orang bebas. Bebas berpikir. Bebas menanggapi pengetahuan atau kesepakatan-kesepakatan sementara. Bebas menafsirkan apa saja sebagai anugerah Tuhan. Lain-lainnya sudah diselesaikan oleh Tuhan sendiri waktu ia berkata: ”imanmu itu bukan hasil usahamu” (Efesus 2:8). Saya tidak perlu berjuang agar terlihat menjadi orang baik, saya hanya perlu bersyukur. Bersyukur bukan dalam status belum tentu masuk surga, tetapi surga atau neraka bukan lagi soal. Bukankah kebebasan ini yang menjadikan kita bebas menjadi murid kebenaran ?

GBU.

Unknown said...

Soal buku, buku-buku yang ada di toko buku kita memang sangat-sangat miskin, terbelakang dan memalukan.....

Mengeluh boleh, tapi ayo mari kita mulai menulis buku. Supaya kegelisahan dan energi yang meluap itu tak berhenti pada keluhan. Sebab menulis adalah kerja proses yang panjang. Dan memang tak mudah. KAlau perlu rela miskin dan terpendam terpencil untuk tekun meneliti. Ayo, berani?